Beranda | Artikel
Aqidah Imam SyafiI Tentang Asma dan Sifat Allah
Minggu, 9 April 2023

Imam Syâfi ’î رحمه الله adalah Muhammad bin Idrîs bin al-’Abbâs bin Utsmân bin Syâfi ’ bin as-Sâ’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abdi Yazîd bin Hâsyim bin al-Mutthalib bin ‘Abdi Manâf bin Qushay bin Kilâb bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghâlib.1 Lahirkan di Gaza, tahun 150 H. dan wafat pada tahun 204 H. dalam umur 54 tahun.

Imam Syâfi ’i رحمه الله merupakan salah seorang Imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang amat dikagumi diseluruh penjuru dunia Islam. Maka memahami bagaimana aqidah, manhaj, sepak terjang dan keilmuan beliau رحمه الله akan semakin mengangkat kebesaran pribadi beliau رحمه الله .

Berikut ini adalah salah satu di antara keyakinan beliau رحمه الله tentang masalah aqidah, yaitu aqidah tentang Asma’ dan Sifat Allah عزوجل.

Dalam kitabnya ar-Risâlah yang merupakan juz 1 dari al-Umm, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu ‘Ali al-Hasan bin Habîb bin ‘Abdul Mâlik tahun 337 H di Dimasyq, dengan sanadnya dari arRabî’ bin Sulaimân, Imam Syâfi ’i رحمه الله mengawali Kitabnya dengan memuji Allâh عزوجل , di antaranya beliau رحمه الله mengatakan:

وَلَايَبْلُغُ الوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ، الَّذِيْ هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خُلْقُهُ

Dan para makhluk yang mensifati Allâh, dengan pensifatan yang diberikannya tidak akan bisa sampai pada hakikat keagungan yang seharusnya bagi Allâh, tidak sebagaimana ketika Allah sendiri yang mensifati diriNya. Dan sifat Allâh lebih mulia dari sifat yang disebutkan oleh makhlukNya.2

Perkataan Imam Syâfi ’i di atas menegaskan bahwa beliau رحمه الله mengimani sifat-sifat Allâh عزوجل serta menetapkannya sebagaimana yang ditetapkan sendiri oleh Allâh عزوجل , tanpa mentahrîf (mengubah makna), tanpa menta’thîl (menolak), tanpa mentakyîf (menggambarkan bentuk sesungguhnya) dan tanpa mentamtsîl (menyerupakan dengan sifat makhluk). Itulah pemahaman seluruh Salafus Shalih dan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Sebab sifat Allâh عزوجل jauh lebih agung, lebih besar dan lebih mulia dari apa yang disebutkan oleh manusia.

Imam Syâfi ’i رحمه الله selanjutnya juga mengatakan:

وَأَحْمَدُهُ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا يَنْبَغِي لِكَرَمِ وَجْهِهِ وَعِزِّ جَلَالِهِ

Aku memuji Allâh dengan pujian yang banyak, sebagaimana yang seyogyanya bagi kemurahan wajahNya dan keperkasaan keluhuranNya.3

Perkataan beliau رحمه الله ini semakin mempertegas sikap beliau رحمه الله dalam menetapkan sifat-sifat Allâh sebagaimana yang Allâh عزوجل tetapkan sendiri untuk diri-Nya, tanpa mengubah makna, tanpa menolak, tanpa menggambarkan bagaimananya dan tanpa menyerupakan, sebagaimana dijelaskan di atas.

Al-Qâdhî Abu al-Husain Muhammad bin Abî Ya’lâ رحمه الله , dalam Kitab karyanya, Thabaqât al-Hanâbilah, 4 menyebutkan: Aku membaca di hadapan al-Mubârak, aku bertanya kepadanya: (Apakah) Muhammad bin ‘Alî bin al-Fath membawa berita kepada engkau? Beliau menjawab, ‘Alî bin Mardak telah berkata mengkhabarkan kepada kami (bahwa): ‘Abdurrahmân bin Abî Hâtim telah berkata mengkhabarkan kepada kami (bahwa): Yûnus bin ‘Abdul A’lâ al-Mishrî telah berkata menceritakan kepada kami (bahwa): Aku mendengar Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi ’i (maksudnya: Imam Syâfi ’i رحمه الله –pen) – ketika ditanya perihal sifat-sifat Allâh dan perihal apa saja yang seharusnya di imani tentang Allâh-, beliau رحمه الله mengatakan, “ Allâh Tabâraka wa Ta’âla memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dijelaskan dalam KitabNya, dan telah diberitakan oleh Nabiyyullâh ﷺ kepada umatnya, dimana hal itu tidak memberikan keleluasaan5 kepada siapapun di antara makhluk Allâh (untuk bersikap lain-pen). Hujjah telah tegak baginya, bahwa al-Qur’ân sudah turun kepada beliau, dan juga hal itu jelas shahîh berdasarkan sabda Nabi ﷺ melalui periwayatan perawi yang adil. Jika seseorang menyelisihi hal ini sesudah tegaknya hujjah baginya secara pasti, maka ia kafir kepada Allâh عزوجل . Adapun bila hujjah belum pasti baginya karena beritanya masih samar baginya, maka karena ketidak mengertiannya ia termaafkan. Sebab persoalan nama-nama dan sifat-sifat Allâh عزوجل tidak bisa dijangkau dengan akal, rasio dan fikiran.

Yang semacam itu misalnya adalah berita-berita tentang Allâh سبحانه وتعالى . Telah datang berita kepada kita bahwa Allâh Maha Mendengar, dan sesungguhnya Dia memiliki dua tangan, berdasarkan firman-Nya:

﴿ …. بَلْ يَدٰهُ مَبْسُوْطَتٰنِۙ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاۤءُۗ ……﴾

Bahkan dua tangan Allâh terbentang kedua-duanya, Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. (QS. Al-Mâ’idah/5:64)

Dan Dia sesungguhnya memiliki tangan kanan, berdasarkan firman-Nya:

﴿ ….. وَالسَّمٰوٰتُ مَطْوِيّٰتٌۢ بِيَمِيْنِهٖ ۗ….. ﴾

Dan langit-langit di lipat pada tangan kananNya. (QS. AzZumar/39:67)

Diapun sesungguhnya memiliki wajah, berdasarkan firman-Nya:

﴿ ….كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ …… ࣖ ﴾

Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. (QS. AlQashash/28:88)

Demikian pula firman-Nya:

﴿ وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ ﴾

Dan tetap kekal abadilah wajah Rabbmu yang wajahNya itu Maha Luhur dan Maha Mulia. (QS. ArRahmân/55:27)

Sesungguhnya Allâh سبحانه وتعالى juga memiliki kaki, berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

( حَتَّى يَضَعَ الرَّبُّ فِيْهَا قَدَمَهُ) يَعْنِيْ جَهَنَّمَ

Sampai Allâh meletakkan kakiNya di atas Jahannam.

Allâh عزوجل pun tertawa terkait dengan hamba Mukmin yang terbunuh di jalan Allâh, berdasarkan sabda Nabi ﷺ yang menjelaskan bahwa orang Mukmin itu menghadap Allâh (meninggal dunia) sedangkan Allâh عزوجل tertawa terhadapnya.

Demikian juga Allâh سبحانه وتعالى turun ke langit dunia pada setiap (sepertiga) malam (terakhir), berdasarkan berita Nabi ﷺ .

Allâh عزوجل tidak buta sebelah mataNya (a’war), berdasarkan sabda Nabi ﷺ ketika menyebutkan tentang Dajjal.

Beliau ﷺ bersabda:

إِنَّهُ أَعْوَرَ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَر

Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, sedangkan Rabbmu tidak buta sebelah mataNya.

Dan bahwa kaum Mukminin kelak di hari akhirat akan melihat Allâh سبحانه وتعالى secara jelas dengan mata kepala mereka, sebagaimana jelasnya mereka melihat bulan pada saat purnama. Allâh عزوجل juga memiliki jari jemari, berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

مَا مِنْ قَلْبٍ إِلَّا وَهُوَ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمنِ عَزَّوَجَلَّ

Tidak ada sebuah hatipun kecuali ia berada di antara dua jari dari jari jemari Allâh Yang Maha Rahmân ‘Azza wa Jalla.

Sesungguhnya makna-makna sifat di atas, yang dengannya Allâh سبحانه وتعالى telah mensifati diriNya, dan dengannya Rasulullâht telah mensifati Allâh سبحانه وتعالى , adalah termasuk perkara yang tidak bisa diketahui hakikatnya berdasarkan akal pikiran dan rasio. Maka seseorang tidak menjadi kafi r karena kebodohan terhadap masalah itu kecuali jika berita (nash) tentang itu telah sampai secara tuntas kepadanya.

Apabila yang sampai tentang itu adalah berita yang jelas hingga bagi pendengaran seakan-akan merupakan sesuatu yang terlihat dengan mata, maka wajib bagi pendengarnya untuk menjadikannya pegangan dalam beragama sesuai dengan hakikatnya dan sesuai dengan kenyataannya. Seola-olah ia melihat dan mendengar langsung dari Rasûlullâh ﷺ . Tetapi sifat-sifat Allâh عزوجل ini harus ditetapkan dengan meniadakan keserupaan (antara sifat Allâh dengan sifat makhlukNya-pen). Sebagaimana Allâh سبحانه وتعالى telah meniadakan keserupaan itu. Allâh عزوجل berfirman:

﴿ ….. لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴾

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allâh, sedangkan Dia Maha Mendengar dan Maha melihat. (QS. Asy-Syûrâ/42:11)6

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelas Imam Syâfi ’i رحمه الله menetapkan sifatsifat Allâh عزوجل sebagaimana termaktub dalam Kitabullâh dan Sunnah Rasûlullâh ﷺ tanpa penolakan, tanpa mengubah maknanya, tanpa membayangkan bentuk sesungguhnya dari sifat-sifat tersebut dan tanpa menyerupakannya dengan sifatsifat makhlukNya. Itulah cara para Salafush Shâlih dalam menetapkan sifat-sifat Allâhk. Artinya, sudah barang tentu beliau mengimani sifatsifat Allâh bukan secara lafazh saja, tetapi juga mengimani maknanya, karena beliau seorang Ulama yang terkenal sangat mendalam menguasai bahasa arab.

Berikut ini adalah nash-nash hadits tentang beberapa sifat Allâh عزوجل yang maknanya telah beliau رحمه الله paparkan di muka:

  1. Hadits yang menjelaskan bahwa Allâh عزوجل meletakkan kaki-Nya di atas Jahannam, ialah sabda Nabi :

لَا تَزَالُ جَهَنَّمُ يُلْقَى فِيْهَا وَتَقُوْلُ : هَلْ مِنْ مَزِيْدٍ؟ ، حَتَّى يَضَعَ رَبُّ الْعِزَّةِ فِيْهَا قَدَمَهُ، فَيَنْزَوِيْ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ وَتَقُوْلُ : قَطْ قَطْ.

Penghuni neraka Jahannam terus dimasukkan ke dalamnya, dan neraka Jahannam itu berkata (memohon tambahan penghuni kepada Allâh) : “Apakah masih ada tambahannya?”. Sampai Allâh Rabbul ‘Izzati meletakkan kaki-Nya di atas Jahannam. Maka sebagian sisi Jahannam merepat ke sisi lainnya seraya mengatakan: “cukup, cukup”. (HR. al-Bukhârî dan Muslim. Lafadz di atas adalah lafadz Muslim).7

2.Hadits yang menjelaskan bahwa Allâh tertawa antara lain, sabda Rasulullâh ﷺ :

يَضْحَكُ اللَّهُ إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الآخَرَ يَدْخُلَانِ الجَنَّةَ : يُقَاتِلُ هَذَا فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ ، فَيُقْتَلْ، ثُمَّ يَتُوْبُ اللَّهُ عَلَى القَاتِلِ، فَيُسْتَشْهَدُ

Allâh tertawa pada dua orang laki-laki. Yang satu membunuh yang lainnya, namun kedua-duanya masuk surga. (Karena) orang yang satu (yang terbunuh pertama) berperang di jalan Allâh, maka ia terbunuh. Kemudian pembunuhnya bertaubat dan Allâh menerima taubatnya, kemudian iapun mati syahid di jalan Allâh. (Muttafaq ‘alaih)8

Maksudnya, dua orang yang saling bunuh, tetapi keduanya masuk surga. Sebab kedua orang itu terlibat dalam pertempuran. Yang satu Muslim, berperang di jalan Allâh, ia terbunuh oleh lawannya, maka iapun masuk surga. Sedangkan lawannya yang kala itu kafir, berperang dipihak pasukan kafir. Tetapi kemudian ia bertaubat dan masuk Islam, ia kemudian berperang di jalan Allâh. Orang ini kemudian terbunuh, dan iapun masuk sorga. Maka Allâh عزوجل tertawa melihat keadaan dua orang ini.

  1. Hadits yang menjelaskan bahwa Allâh عزوجل turun ke langit dunia pada tiap sepertiga malam terakhir, adalah sabda Rasûlullâh :

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُنِيْ، فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلْنِيْ فَأًعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita Tabaârakallâh wa Ta’âlâ turun ke langit dunia setiap malam pada saat tersisa sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman: Barangsiapa yang berdoa kepadaKu niscaya Aku kabulkan doanya, barangsiapa yang memohon kepada-Ku niscaya Aku berikan permohonannya, barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku ampunkan dosanya. (Muttafaq ‘Alaih)9

  1. Hadits yang menjelaskan bahwa Allâh tidak buta sebelah mata-Nya yaitu dalam sebuah riwayat dinyatakan Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما mengatakan: Rasûlullâh ﷺ pernah berdiri di hadapan umatnya. Lalu Beliau ﷺ memuji Allâh dengan pujian yang Allâh berhak mendapatkannya. Kemudian Beliau ﷺ menyebut-nyebut tentang Dajjal, lalu bersabda:

إِنِّيْ لَأُنْذِرُكُمُوْهُ، وَمَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا أَنْذَرَهُ قَوْمَهُ، لَقَدْ أَنْذَرَ نُوْحٌ قَوْمَهُ، وَلَكِنِّيْ أَقُوْلُ لَكُمْ فِيْهِ قَوْلاً لَمْ يَقُلْهُ نَبِيٌّ لِقَوْمِهِ : تَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ أَعْوَرُ، وَأَنَّ اللَّهَ لِيْسَ بِأَعْوَرَ

Sesungguhnya aku benar-benar mengingatkan kalian akan Dajjal. Tidak ada seorang nabipun kecuali ia pasti mengingatkan kaumnya akan Dajjal. Sesungguhnya Nabi Nûh juga benar-benar telah mengingatkan kaumnya. Akan tetapi aku katakan kepada kalian apa yang belum pernah dikatakan oleh seorang nabipun kepada kaumnya, yaitu: kalian mengetahui bahwa Dajjal buta sebelah matanya. Sedangkan sesungguhnya Allâh tidak buta sebelah mataNya. (Muttafaq ‘Alaih)10

  1. Hadits yang menjelaskan bahwa kaum Mukminîn akan melihat Allâh عزوجل secara langsung dengan mata kepalanya ialah…

 عَنْ جَرِيْرٍ، قَالَ : كُنَّا جُلُوْسًا عِنْدَ النَّبِيِّ ص إِذَا نَظَرَ إِلَى القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ قَالَ : ((إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لَا تُضَامُوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوْا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ، وَصَلَاةٍ قَبْلَ غُرُوْبِ الشَمْسِ، فَافْعَلُوْا

Dari Jarîr, ia mengatakan: Kami duduk di hadapan Nabi ﷺ , ketika itu Beliau ﷺ memandang bulan pada saat purnama. Beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kalian benar-benar akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak akan mengalami kesulitan ketika melihat-Nya. Maka jika kalian mampu agar jangan sampai terkalahkan untuk melaksanakan shalat sebelum terbitnya matahari dan melaksanakan shalat sebelum terbenamnya matahari, maka lakukanlah. (Muttafaq ‘Alaih)11

  1. Dan hadits tentang Allâh سبحانه وتعالى memiliki jari jemari ialah sabda Rasûlullâh ﷺ :

إِنَّ قُلُوْبَ بَنِيْ آدَمَ كُلُّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ، يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ

Sesungguhnya hati-hati Bani Adam seluruhnya berada di antara dua jari dari jari jemari Allâh Yang Maha Rahmân, sebagaimana layaknya sebuah hati. Allâh membolak-balikkannya menurut apa yang Dia kehendaki. (HR. Muslim)12

Demikianlah aqidah Imam Syâfi ’i رحمه الله tentang Asmâ’ dan Sifat Allâh عزوجل , aqidah yang dianut oleh seluruh Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Wallâhu a’lam.

1 Lihat Siyar A’lâm an-Nubalâ’, karya Imam adz-Dzahabi, Mu’assasah ar-Risâlah, cet. XI, 1422 H/2001 M. Isyrâf: Syu’aib al-Arna’ûth, dan tahqiq: Muhammad Na’îm al-’Asqûsy, X/5. Lihat pula Muqadimah Tahqiq al-Umm karya Imam asy-Syâfi ’i, Tahqiq: Dr. Rif’at Fauzi Abdul Mutthalib, Dar al-Wafâ’, cet. III, 1426 H/2005 M. Juz’u ar-Risâlah I/6

2 Al-Umm, karya Imâm Muhammad bin Idrîs asy- Syâfi ’i رحمه الله , tahqîq wa takhrîj: Dr. Rif’at Fauzi ‘Abdul Mutthalib (yang memiliki sanad kepada Imam Syâfi ’i, dalam juz ar-Risâlah, yaitu I/ 1, Dâr al-Wafâ’, cet. III, 1426 H/2005 M

3 Ibid

4 Lihat Thabaqât al-Hanâbilah, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun (di Perpustakaan Ma’had al-’Ulûm alIslâmiyyah wa al-Lughah al-’Arabiyyah Fî Indonesia dengan nomor umum: 22584, no tashnîf: 217,5092), Jld. I/283- 284, tentang Muhammad bin Idrîs bin al- ’Abbâs Abu ‘Abdullâh asy-Syâfi ’I al-Imâm (no. 389).

5 Dalam kitab asli tertulis ( لايسمع ,( mungkin itu tash-hîf (salah cetak), yang benar adalah (يسع لا (yang artinya, berita itu tidak memberi keleluasaan kepada siapapun. Ini di dasarkan pada riwayat lain dari Imam adzDzahabî, dalam Siyar A’lâm an-Nubalâ’, Mu’assasah ar-Risâlah, cet. 11, 1422 H/2001 M, tahqîq : Muhammad Nu’ain al-’Arqasûsî, Isyrâf : Syu’aib al-Arna’ûth, pada pembahasan no 1 tentang Imam Syâfi ’i, X/79-80. Wallâhu a’lam

6 Lihat Thabaqât al-Hanâbilah, Dâr alMa’rifah, Beirut, op.cit. Jld. I/283-284, tentang Muhammad bin Idrîs bin al- ’Abbâs Abu ‘Abdullâh asy-Syâfi ’I al-Imâm (no. 389).

7 Lihat Shahîh Bukhârî dalam Fathu alBârî, XIII/369, Bab 7 no. 7384 dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ tahqîq : Khalîl Ma’mûn Syîhâ, op.cit. XVII/182 Bab 13/14, no 7108.

8 Shahîh Bukhârî dalam Fathu al-Bârî, op.cit. VI/39, Bab 28, no. 2826. Lafadz ini adalah lafadz Bukhârî dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ tahqîq : Khalîl Ma’mûn Syîhâ, op.cit. XIII/38, Bab, 35/8, no. 4869

9 Ibid Fathu al-Bȃrî, op.cit. XIII/464, no. 7494, Kitȃb at-Tauhîd, Bȃb 35 dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ op.cit. VI/279, Kitȃb Shalȃti al-Musȃfi rîn, Bȃb 24/132, no. 1769

10 Ibid Fathu al-Bȃrî, op.cit. VI/370, no. 3337 dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ op.cit. XVIII/260, penggalan dari hadits no. 7283, Kitȃb al-Fitan, Bȃb Dzikri Ibni Shayyȃd

11 Shahîh Bukhȃrî dalam Fathu al-Bȃrî, op.cit. II/33, Kitȃb Mawȃqît ash Shalȃti, Bȃb 16, no. 554. Lafadz ini adalah lafadz Bukhârî, dan Shahîh Muslim bi Syarhi anNawawî¸ tahqîq : Khalîl Ma’mûn Syîhâ, op.cit. V/135, Bab 37/90, no. 1432

12 Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ tahqîq : Khalîl Ma’mûn Syîhâ, op.cit. XVI/419-420, Bab 3/3 Kitâb al-Qadar, no.6692.

Majalah As-Sunnah Edisi Khusus [03-04]/Thn XVIII/Ramadhan-Syawwal 1435H/Juli-Agustus 2014M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/akidah/aqidah-imam-syafii-tentang-asma-dan-sifat-allah/